Angkringan Pak Panut: The Legend of Klebengan

In Case You Forget, Dib
3 min readJul 20, 2021

--

Jogjakarta lekat dengan angkringan. Restoran dengan sentuhan gaya tradisional, dibalut dengan menu-menu khas nan ramah di kantong, membuat angkringan semakin diminati masyarakat.

sumber: kagama.co

Terutama bagi kaum mahasiswa yang setiap akhir bulan harus bertahan dengan duit yang tak seberapa. Walau kini pun kita bisa menemukan beragam angkringan dengan gaya modern dan juga sajian menu dengan biaya yang lumayan di ongkos.

Baru-baru ini mahasiswa Jogja, khususnya daerah sekitar UGM dan UNY dikagetkan dengan berita meninggalkan salah satu pegiat angkringan di sudut kompleks foodcourt GOR Klebengan. Angkringan Pak Panut, jujurly sebagai mahasiswa UGM selama 4 tahun berkuliah aku memang terhitung jarang untuk makan di angkringan yang satu ini.

Setidaknya jika diajak teman atau pasca rapat organisasi, barulah aku mencoba mencicipi hidangan khas mahasiswa ini. Selain itu, karena jaraknya yang lumayan bersebrangan dengan kos di daerah pogung dalangan.

Terlepas dari pengalamanku yang memang tidak terhitung banyak, tak dipungkiri angkringan yang satu ini memang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan warung-warung lain yang berjajar sepanjang GOR. Walau dari segi harga tak berbeda jauh, tapi angkringan yang satu ini sejak buka hingga tutup lagi biasanya memang selalu tampak asap mengepul, selalu ramai pembeli. Baik yang dibungkus ataupun yang makan di sana.

Seperti layaknya angkringan pada umumnya, menu yang tersedia juga sangat khas dan tradisional. Ada berbagai macam nasi bungkus, bebakaran mendoan, dan beragam sate, juga minuman tersedia di sini.

sumber kagama.co

Jika banyak yang mengatakan angkringan Pak Panut adalah obat lapar ketika akhir bulan, tapi sepanjang aku melintasi daerah ini, baik awal atau akhir bulan angkringannya selalu ramai.

Apalagi jika ada acara kampus hingga tengah malam di GOR Klebengan, bersamaan dengan warung-warung penyetan pinggir jalan, angkringan pak panut sangat ramai. Pernah dilansir jika dalam sehari beliau bisa menjual hinggal 500 nasi bungkus, yang bahkan harga per satuannya sampai sekarang masih di bawah 5 ribu rupiah pastinya.

Ditulis di kagama.co, Pak Panut sendiri telah berjualan angkringan sejak tahun 1992. Beliau merupakan orang asli Bayat, Klaten. Daerah ini disebut juga menjadi cikal bakal angkringan di Indonesia. Pria kelahiran 1959 ini mengaku pernah berjualan di daerah jakarta selama 7 tahun tapi merasa kurang cocok, kemudian pindah ke Jogja sejak 1992 dan alhamdulillah cocok.

Jam bukanya pun terhitung panjang, dari pukul 10.00–16.00. Sehingga diperlukan 2 shift saat berjualan. Beliau dibantu keluarga, seorang istri dan dua orang saat berjualan. Persiapan untuk membuka usaha pun telah dimulai sejak pukul 6 pagi (kagama.co). Dalam wawancara bersama tim Kagama, Pak Panut menjelaskan perjuangannya yang ‘ngeri’ di awal-awal usah, namun saat ini beliau pun bisa menikmati hasilnya.

Untuk menu angkringan dimulai dari gorengan dengan harga Rp500 setiap piecesnya, lalu ada nasi bungkus apapun jenisnya cuma dibandrol Rp1500, sementara per-sate-an hanya dikenai biaya Rp2000. Tak ketinggalan ceker Rp2000 tiap 3 biji, kepala ayam Rp2000, sayam ayam Rp4000 dan segala jenis minuman cuma Rp2000.

Jualan pun semakin laris, tak hanya nasi kucingnya, tapi juga gorengan, minuman, dan satenya. Jadi semua imbang, tambah Pak Panut. Jadi, bagi kalian yang belum pernah ke sini, sangat disarankan untuk makan di sini. Jangan lupa bersama teman, agar nasinya tidak terasa hambar. Wait! Bukannya ini masih PPKM ya? (Pernah perhatian kemudian menghilang) Sebaiknya dibungkus aja dulu, nanti kalau sudah situasinya terkendali baru deh gaskeunn!

Sepatah kata terakhir, kepada Pak Panut semoga amal ibadahnya di terima di sisi Nya. Untuk keluarga semoga diberi ketabahan dan kemudahan dalam menghadapi segala urusan. Terima kasih, Pak Panut, selamat jalan.

--

--